Against the World Series Part 2 Decision


Kami berlari, lebih tepatnya aku membawanya sambil berlari. Aku memilih banyak gang sempit hingga akhirnya suara mereka tidak terdengar lagi. Untunglah aku rajin berolahraga kembali sepuluh tahun terakhir. Keluar dari gang-gang sempit itu, aku pun menurunkan anak itu dari gendonganku.

"Who are you?" tanyaku dalam bahasa Inggris, berharap dia mengerti. Namun anak itu hanya diam. "Kamu siapa? Kenapa mereka mengejarmu?" Tak satupun pertanyaanku dijawab. Anak itu hanya menatap wajahku kembali dengan raut wajah kebingungan. Apa dia ini anak orang kaya yang diculik dan akan diminta tebusan kepada orang tuanya? Pikirku setelah memperhatikan wajahnya dan pakaiannya yang cantik. Ia mengenakan gaun putih yang tidak biasanya digunakan seseorang ke pasar tradisional, tempat pertama kali aku melihatnya.

Hmph, tapi apapun ceritanya aku tidak punya urusan dengan anak ini. Kuberi dia beberapa lembar uang. "Nah, beli makanan sana." Aku pun berbalik dan menginggalkannya. Namun tiba-tiba saja bajuku ditarik olehnya.

"Oh, ayolah, aku tidak mengenalmu, aku juga tidak mau berurusan dengan mafia."

Tapi anak itu tetap diam dan menjepit erat bajuku dengan kedua jarinya. Ia terus memandangku. Raut wajahnya tak bisa kuhiraukan. Ini adalah saat paling menyebalkan bagiku. Perutku berbunyi, aku melihat arlojiku, ternyata sudah jam 3 sore. Telat sekali aku makan siang, aku harus mencari tempat makan sebelum penyakit maagku kambuh.

Akhirnya kami berdua pun duduk di sebuah rumah makan yang tidak begitu ramai, setiap lima detik sekali aku memperhatikan sekelilingku, berjaga-jaga kalau salah satu dari mafia itu tiba-tiba muncul. Sungguh tidak nyaman sekali makan siangku. Tapi apalah yang bisa kuharapkan? Sejak awal aku memang sudah tidak berada di zona nyamanku lagi.

"Namaku Daniel, namamu siapa?" sekali lagi aku mencoba berkomunikasi dengannya.

"Daniel," akhirnya ia mengatakan sesuatu kepadaku.

"Ya, Daniel namaku, namamu siapa?"

Dia menggelengkan kepalanya.

"Kau tidak tau siapa namamu? Mengapa mereka malah mengejarmu?"

Dia menggelengkan kepalanya.

"Hah, kau membuatku bingung saja. Lalu rumahmu di mana? Aku akan mengantarmu ke sana. Aku harus pergi ke suatu tempat, aku tidak mungkin membawamu ke sana."

Lagi-lagi dia hanya menggelengkan kepalanya. Apakah aku terkena kutukan dari seseorang yang sangat membenciku sehingga aku harus menghadapi masalah ini? Ini bahkan bukan masalahku. Aku hanya perlu meninggalkan anak ini. Anak yang hanya menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan.

Aku mulai berpikir bagaimana sebaiknya perjalan ini kulanjutkan. Hingga saat ini hanya ada tiga pilihan yang muncul dalam benakku.
1. Tinggalkan dia, aku tidak mengenalnya, dia tidak mengenal dirinya, dia tidak ada hubungannya dengan perjalananku.
2. Carikan dia tempat aman, tinggalkan dia, lanjutkan perjalanan.
3. Bawa dia ikut dalam perjalanan.

Ok, yang terakhir sepertinya terlalu esktrim. Yang paling memungkinkan adalah pilihan kedua. Tapi sepertinya tempat seaman apapun itu bukanlah di sini. Para mafia itu bisa saja masih berkeliaran. Mungkin aku harus membawanya ke negara lain, mungkin dia dari Malaysia, negara yang berbatasan dengan Singapura selain negaraku.

Terlalu memikirkan bagaimana caraku bisa pergi tanpa membawa anak ini nantinya aku malah lupa kalau dia punya paspor atau tidak.

"Hei, kamu punya paspor?"

Dia menggelengkan kepalanya.

Duh, bodohnya aku, kalau dia punya tanda pengenal mungkin dia akan memberi tahuku siapa namanya. Amnesia kah? Padahal bajunya masih bersih begitu, mungkin dia berasal dari keluarga yang cukup berada. Jadi, dia hilang ingatan sewaktu dikejar mafia tadi? Ah, sudahlah, bukan urusanku.

Tapi bagaimana ini, apa kucarikan dia tempat tinggal di sini saja? Tapi di mana?

"Lah? Daniel?" ujar seseorang berbadan tegap menghampiriku.

"Kevin? Ngapain di sini?"

"Biasalah, jenguk saudara. Tante aku kan memang sudah lama tinggal di sini."

"Oh ya, aku lupa. Dulu kau juga sering ke Singapura kalau sedang liburan."

"Jadi, apa kabar?"

"Begitulah." Jawabanku yang paling standar setiap ditanya tentang kabarku. "Kau gimana? Masih sering nge-gym?"

"Ya, lumayanlah, walaupun enggak serajin waktu dulu. Ini kau mau ke Malaysia ya? Cantik anakmu ya," tanya Kevin yang pandangannya kini tertuju pada anak kecil yang bersembunyi di belakangku.

"Ah, bukan, dia bukan anakku. Dia...." Eh, tunggu dulu kalau dia kubilang orang yang terkena amnesia dan sedang dikejar mafia urusanku bisa makin panjang. Malasnya. "Dia keponakanku. Dia tersesat. Aku diminta menjemputnya di sini."

"Bisa tersesat gitu ya?"

"Iya, tiba-tiba dia salah naik pesawat jadinya malah ke sini. Kebetulan aku ada di sini, jadinya aku diminta mengantarnya ke sana."

"Bahaya bener itu, untung enggak salah pesawat ke Amerika bisa jumpa Jimmy dia. Hahaha."

"Masih ingat aja ya, hahaha. Oh ya, sebenarnya paspor anak ini ada sama orang tuanya, bingung juga aku lewatin perbatasan."

"Kalau itu gampang, temanku di sini ada yang bisa buatkan paspor palsu, kalau mau."

"Iya? Bagus sekali itu."

"Oke, tapi tidak bisa sekarang, besok saja. Sekarang sudah sore. Dia harus kerja lain lagi di malam hari. Besok pagi kuhubungi. Kontakmu belum ganti kan?"

"Tidak pernah ganti."

"Oke, kalau gitu, sampai jumpa besok."

"Sampai jumpa."

Kenapa aku langsung setuju begitu saja? Sekarang aku malah bingung sendiri bagaimana caranya bisa mencari tempat menginap untuk malam ini. Kalau kami tidur beda kamar, aku harus bayar mahal. Tapi kalau tidur sekamar, aku tidur di sofa. Gila saja aku tidur seranjang dengan anak ini. Kalau ketahuan kami bukan siapa-siapa bisa dipenjara aku. Mana dia di bawah umur lagi.

Hmm, aku merogoh kantung celanaku dan memeriksa dompetku. Sepertinya sudah boleh ambil uang. Celingak-celinguk aku melihat sekeliling. Ternyata ada ATM yang dapat gunakan, tapi cukup jauh bahkan harus menyebrang jalan.

"Kamu tinggal di sini saja ya, aku mau ambil uang bentar."

Dia mengangguk.

Sepertinya dia mengerti bahasaku karena setelah aku berjalan beberapa langkah dan melihat ke belakang dia masih berdiri di sana. Apa kami berasal dari negara yang sama? Atau dia bisa mengerti semua bahasa? Ah, khayalanku terlalu tinggi. Aku melihat ke kanan-kiri. Jalanan cukup sepi, aku pun menyebrang menuju ATM.

Namun tak di sangka sebuah mobil sedan berwarna putih melaju dengan cepat ke arahku. Aku melangkah lebih cepat untuk mencapai seberang jalan. Tapi mobil itu malah berbelok, menolehkan bagian depannya ke arahku. Aku tak dapat menghindar lagi, mobil itu menabrakku. Tubuhku terhimpit tiang lampu jalan dan mobil itu.

Tubuhku terasa berat, tapi mataku masih dapat melihat. Anak itu berlari menghampiriku, ia terlihat menangis.

"Daniel! Daniel!" teriaknya.

Ah, ternyata ia bisa berteriak juga.

"Daniel! Daniel!"

Suara pintu mobil terbuka kudengar jelas. Dua orang berjas rapi mengangkat anak itu. Meskipun dia melawan mereka memaksanya. Aku hanya dapat melihatnya dan mendengar teriakannya. Namun semuanya semakin pelan, semuanya semakin gelap. Aku tak melihat apapun. Aku tak mendengar apapun.

Maafkan aku.
download
alternative link download