Kevin berdiri dihadapanku dan berkata, "Kalau itu gampang, temanku di sini ada yang bisa buatkan paspor palsu, kalau mau."
Aku diam dan berpikir sejenak, sepertinya ada yang janggal dalam pikiranku, tapi aku tak tahu apa itu. Kevin melihatku kebingungan karena ia merasa melihat diriku seperti sedang melamun.
"Bagaimana, Daniel? Kau mau dibuatkan paspor palsu untuk keponakanmu?" tanya Kevin mencoba mengembalikanku ke pembicaraan.
Keponakan? Aku melirik ke sebelahku dan terlihatlah seorang gadis yang baru saja kugendong dan kubawa makan siang tadi. "Ah iya, paspor palsu untuknya. Bagus sekali itu."
"Oke, tapi tidak bisa sekarang, besok saja. Sekarang sudah sore. Dia harus kerja lain lagi di malam hari. Besok pagi kuhubungi. Kontakmu belum ganti kan?"
"Tid...," jawabanku terpotong karena gadis keponakan palsuku itu sibuk menarik lengan bajuku. Ia tidak mengakatakan apa-apa selain menunjuk terus-menerus ke arah negeri seberang, Malaysia. Kami memang sudah begitu dekat dengan perbatasan. "Tidak bisa kah sekarang saja? Kasian anak ini sudah rindu dengan orang tuanya."
"Hmm, coba kuhubungi dulu, ya," ujar Kevin lalu merogoh ponselnya dan menelepon temannya.
Saat Kevin sibuk dengan pembicaraannya di ponsel, aku pun mulai sibuk memikirkan kejanggalan apa yang telah terjadi. Apakah ada hubungannya dengan gadis ini? Ah, gadis ini memang sudah janggal sejak pertama aku bertemu dengannya. Tapi bukan itu. Semakin aku mencoba mengorek ingatanku semakin tidak ada yang berhasil kutemukan.
"Kau beruntung sekali, Daniel."
"Kenapa?"
"Temanku itu sedang tidak berkerja malam ini, bahkan dia malah akan ke Malaysia nanti tengah malam. Mau kuantar sekarang ke tempatnya? Tidak jauh dari sini, kok."
"Tentu saja, terima kasih."
Kami berdua dibawa Kevin dengan Mercedes-Benz miliknya ke sebuah tempat yang cukup sepi dari penduduk. Hari semakin gelap dan semakin gelaplah jalan yang kami tuju. Walaupun Kevin mengatakan tidak jauh, tetap saja kami sudah menempuh perjalanan selama lebih dari setengah jam.
Kevin memberhentikan mobilnya di depan sebuah rumah kecil dan gelap. Satu-satunya penerangan di situ adalah cahaya lampu teras depan rumah itu. Tak ada lampu jalan, tak ada rumah selain rumah itu. Hanya pepohonan tinggi.
Begitu di dalam, kami langsung disambut hangat oleh temannya Kevin. Tubuhnya lebih pendek dariku, namun paras wajahnya menggambarkan kalau kami sebaya. Kumis dan rambutnya cukup tebal, ia terlihat dekil dan malas membersihkan dirinya.
"Hi Lim, how are you?"
"Why are you asking me the same question?" respon Lim mengurutu, "Kau sudah menanyakan kabarku lewat telepon."
"Ah, masa tidak boleh aku basa-basi."
"Kupikir kau tahu aku tidak tertarik dengan basa-basi, kawan."
"Hahaha, sesekali bercanda kan tidak apa-apa."
"Sudah terlalu sering kau begitu. Jadi ini yang membutuhkan paspor palsu itu? Sungguh pelanggar peraturan."
"Kau sendiri membuat paspor palsu," jawab Kevin. "Ini temanku--Daniel--dan ini keponakannya...." Kata-kata Kevin terhenti seketika melirik gadis pendiam yang berdiri di sampingku. Di saat itulah baru kusadari kalau aku juga tidak tahu siapa namanya. Tapi jika aku terus terang sekarang, akan semakin banyak pertanyaan yang muncul. Aku tidak suka itu.
"Riemu," jawabku cepat.
Aku tidak tahu darimana dan bagaimana nama itu muncul. Maafkan aku anak muda, tapi itulah namamu mulai sekarang.
"Ya, namaku Riemu."
Aku terkejut. Lim ikut terkejut melihat aku terkejut. Kevin juga terkejut karena ponselnya berbunyi. Begitu diangkat, suara seorang wanita menggema seisi rumah Lim. Wanita itu marah-marah karena Kevin tidak memberi kabar dan tidak pulang meski hari sudah gelap. Setelah meminta maaf tidak bisa membantu lebih banyak. Kevin pun pamit kepada kami bertiga.
"Ya, begitulah istrinya Kevin," celetuk Lim, "Now, lets roll."
Lim memang orang yang tidak suka basa-basi. Ia langsung meraih komputernya dan mengerjakan pekerjaannya. Sesekali ia bertanya padaku tentang biodata Riemu. Aku masih heran mengapa gadis itu dapat mengatakan namanya Riemu, tapi benar-benar akan sangat mencurigakan jika aku bertanya padanya sekarang. Riemu telah difoto dan Lim pun meninggalkan komputernya.
"Sisanya akan selesai secara otomatis."
"Canggih juga ya, apa semua pembuat paspor punya mesin seperti ini?" tanyaku mencoba berbicara dengannya.
"Tidak juga, ini aku rancang sendiri. Mau bir?"
"Tidak, terima kasih, aku tidak minum bir."
"Cola?"
"Ya, terima kasih."
Lim memberikan aku dan Riemu segelas cola. Dia sendiri menikmati birnya sebotol. Ternyata Lim adalah teman Kevin sejak ia pernah pergi ke Singapore sewaktu kecil. Mereka kebetulan bertemu setiap kali Kevin pergi ke Singapore untuk mengunjungi keluarganya dan mulai semakin akrab di dunia maya. Tak lama, paspor palsu milik Riemu pun siap. Pemilik paspor itu sendiri sudah tertidur bersandar di bahuku. Maklum saja, hari kami cukup melelahkan dan sekarang sudah malam hari.
Lim mengeluarkan Jaguarnya dari garasi. Mobil berwarna merah mengkilap itu sungguh tidak sesuai dengan rumahnya yang terkesan kumal. Aku duduk di depan di sampingnya yang membawa mobil, Riemu sendiri sudah terbaring di belakang. Kami tidak membangunkannya, aku menggendongnya masuk ke dalam mobil.
"Kau yakin akan menyetir? Kau baru saja meminum bir, biar aku saja."
"Ah, kau telah meremehkanku, kawan."
Lim bersikeras akan menyetir. Aku pun mempasrahkan nyawaku dan Riemu kepada supir yang baru saja minum bir. "Tenang saja, aku tidak akan mabuk hanya karena sebotol bir." Ia pun membawa kami kembali ke tempat yang terang. Lalu menuju jalur lintasan menuju Johor, Malaysia.
"Sebelumnya aku mohon maaf karena aku memang tidak suka basa-basi. Tapi dia bukan keponakanmu kan?" tanya Lim. "Tenang saja, aku akan merahasiakan ini."
"Ya," jawabku mencoba percaya padanya, dia sudah membuatkan Riemu paspor, aku tidak bisa berbohong kepadanya.
"Lalu kalian mau ke mana?"
"Slovenia."
"Slovenia? Eropa?"
Aku mengangguk.
"Itukan jauh sekali. Apa yang kalian cari di sana?"
"Aku mengejar mimpiku. Sekitar sepuluh tahun yang lalu aku bermimpi, mimpi itu terasa begitu nyata. Aku bertemu seseorang dan dia menungguku di sana. Dia selama ini ada dalam pikiranku, namun aku tak pernah punya cara untuk mengetahui di mana dia berada. Hingga akhirnya aku bermimpi dan mimpi itu benar-benar telah membantuku untuk mendapatkan cara agar bisa menemuinya. Kau mungkin mengatakan aku ini gila, tapi aku sudah biasa, banyak yang mengatakan itu, bertambah satu orang tidak masalah bagiku."
"Itu tidak gila, itu keren sekali. Mengejar mimpi, mewujudkan mimpi. Kebanyakan orang jika sudah seumuran kita akan berhenti bermimpi. Tapi aku suka gayamu, perjalanan karena mimpi. Lalu, keponakanmu itu?"
"Kami baru bertemu tadi siang, aku sendiri tidak tahu siapa dia. Sejak pertama kali bertemu dia sudah menempel begitu. Rencananya aku akan mencarikan dia tempat tinggal di Malaysia."
"Kenapa Malaysia? Kenapa bukan Singapura?"
"Dia punya masalah di negeramu."
Kami diam sejenak, suasana sangat hening untuk beberapa detik malam itu. Lalu Lim pun membuka pembicaraan baru, sepertinya dia tidak tertarik dengan masalah Reimu, dia sendiri juga orang yang punya banyak masalah di negaranya. "Jadi apa pekerjaanmu? Seorang penulis? Penulis mimpi?" tanya Lim dengan nada bercanda.
"Ah, tidak. Aku hanya pegawai biasa di perusahaan delivery service."
alternative link download