Against the World Series Part 7 Dejected


Riemu memegang tanganku dengan erat yang masih tak berhenti mengenang masa lalu. Padahal Daniella sudah pergi tapi tetap saja pertemuan kembali kami itu benar-benar telah membuat aliran darahku tak sama lagi. Meskipun aku tahu dia tak mungkin lagi merasakan hal yang kurasakan. Betapa bodohnya diriku. Memang kebodohanku inilah yang menjadi salah satu penyebab diriku yang berusia 35 tahun ini belum menikah.

Melihat diriku yang tak henti menutup mata sambil mengadap ke langit, Riemu merapatkan tanganku ke pipinya. Rasanya halus sekali kulitnya. Aku tidak tahu kenapa sepertinya aku tidak lazim dengan menyentuh pipinya itu.

Seakan sebuah suara nyaring berdering dalam telingaku, aku pun tak mampu menahan diri dan tubuhku langsung roboh seketika. Pandanganku gelap, semuanya gelap. Aku mencoba menggerakkan jemariku satu persatu. Aku bisa merasakannya. Aku mencoba untuk berdiri dan aku pun bisa melakukannya.

Begitu aku berhasil berdiri tegak, sekitarku kini menjadi padang rumput yang luas. Tak ada siapa pun di sana selain rerumputan, pepohonan, pegunungan, serta langit membentang berisikan awan. Tempat ini sungguh indah, hanya saja tidak berwarna. Tidak ada satu pun warna selain hitam, putih, dan kelabu.

Ya, aku tidak akan pernah bertanya aku ada di mana. Karena aku mengenal betul tempat ini. Sudah lama sekali aku tidak kemari. Ini adalah duniaku. Duniaku yang dulu pernah penuh warna, di mana aku dapat menikmati keseluruhannya. Hanya dengan berada di sini dulunya aku dapat bahagia meskipun aku tidak melakukan apa-apa. Namun semenjak cahaya yang memberikan warna itu telah pergi, aku tidak pernah lagi kemari.

"Tumben kamu bisa ada di sini, Daniel," sebuah suara indah terdengar dari balik punggungku. Aku merasakan seonggok tubuh wanita bersandar di punggungku. Meski hanya punggung kami yang saling bertemu, aku sudah tahu siapa wanita itu.

"Lebih tepatnya, sudah lama sekali kita tidak berjumpa, Emuria," jawabku.

"Sudah berapa lama tepatnya ya?"

"Ntahlah, yang pasti sudah bertahun-tahun," ucapku sambil mengambil posisi duduk dengan kaki lurus ke depan. Aku juga tahu dia ikut duduk karena aku dapat merasakan punggunggnya yang kecil bersandar di punggungku. "Aku pasti terlihat menyedihkan sekali saat ini sampai-sampai kamu mau mendatangiku lagi."

"Aku hanya ingin menjumpaimu Daniel," kata Emuria dengan nada kecewa, "mungkin juga ini untuk yang terakhir kalinya."

"Kenapa? Aku sedang dalam perjalanan menuju ke tempat yang kamu tunjukkan sepuluh tahun yang lalu."

"Bukankah kamu telah menemukan kebahagiaanmu? Untuk apa lagi mencariku?"

"Kebahagiaanku? Di mana?"

"Mengapa kamu tidak mengerti juga?" keluh Emuria. Ia berdiri, meninggalkan punggungku yang kini bersandar pada kehampaan.

"Tunggu dulu, apa yang aku tidak mengerti?" tanyaku sambil membalikkan kepalaku, tapi tidak lagi berada di sana. Semuanya hampa, begitu juga dengan rerumputan tempat aku duduk. Semuanya menjadi gelap hingga aku bahkan tidak dapat melihat apapun.

Tak lama, gelap itu pun menghilang ketika aku melihat langit-langit sebuah ruangan. Aku telah berada di sebuah rumah sakit atau mungkin sejenis unit kesehatan di Thailand. Semua tulisan-tulisan dalam bahasa yang tidak kumengerti di dalam ruangan itu memberitahuku. Seorang gadis tertidur dengan kepala bertopang pada tempat aku berbaring. Dia adalah Riemu yang terbangun ketika aku mencoba duduk di tempat tidur itu.

Riemu langsung memelukku begitu melihat aku mulai sadarkan diri. Riemu memberi tahu padaku kalau perawat itu mengatakan kalau aku kecapaian hingga pingsan. Sebelum meninggalkan unit kesehatan di taman itu, mereka mengingatkan padaku untuk menjaga staminaku.

Mengingat kami berdua belum makan siang, aku dan Riemu pun makan di sebuah restoran di sebuah mall yang tak begitu jauh. Satu meja hanya untuk berdua. Di sanalah kami makan, saling berhadapan.

"Jadi, tadi aku pingsan di tempat kita melihat patung Ganesha?" tanyaku mengkonfimasi ingatanku.

"Ya, Daniel sih, tiba-tiba diam saja sambil melihat langit," jawab Riemu.

"Hmmm, aku terlalu banyak berpikir yang aneh-aneh. Bahkan baru saja aku mimpi yang aneh."

"Mimpi apa?" tanya Riemu penasaran hingga mencondongkan tubuhnya mendekatiku.

"Ah, bukan hal yang begitu istimewa. Hanya mimpi tentang masa lalu."

Riemu tidak berkata sepatah kata pun. Ia juga tidak makan sesuap pun. Matanya tertuju kepadaku, seakan di wajahnya tertulis aku ingin tahu dengan lebih rinci. Tapi aku tidak ingin bercerita tentang Emuria Halati kepadanya. "Ah, tadi di sana kita berjumpa dengan teman masa kecilku kan? Atau aku salah ingat?"

"Ya, kita berjumpa dengannya."

"Namanya Daniella, apa aku sudah bercerita tentangnya padamu?"

"Sudah," jawab Riemu.

"Ah? Yang benar?"

"...."

"Sepertinya aku belum pernah bercerita, dia itu junior aku sewaktu SMA dulu. Waktu itu kami...." Belum sempat aku memulai ceritaku, Riemu sudah berdiri bahkan sampai membuat piring dan peralatan makan lainnya di meja itu berbunyi. Dia beranjak dari kursinya. "Ke mana?"

"Toilet," jawabnya singkat.

Sekitar tiga menit berlalu, aku mulai berpikir tentang percakapanku. Sepertinya dia tidak suka dengan cerita tentang Daniella. Tapi kenapa? Padahal baru kali ini juga dia berjumpa dengannya. Belum sempat aku selesai memikirkan semua itu, Riemu sudah kembali. Tapi kali ini dia tidak duduk di kursinya.

Tingkahnya membuatku langsung bertanya, "Kamu tidak makan? Masih bersisa tuh."

Dia menggelengkan kepalanya.

"Kenapa? Kamu sakit?"

Dia menggelengkan kepalanya. Aneh sekali, ini sama seperti saat kami pertama bertemu. Untunglah aku sudah menghabiskan makananku jadi kami dapat langsung bergegas dari tempat itu.

Riemu masih saja diam selama kami berjalan menyusuri mall itu. Dia hanya mengikutiku saat mencari bahan dan perlengkapan untuk perjalanan ke negara selanjutnya. Berjalan dan diam. Hingga kami melewati sebuah toko. Di saat itulah aku menyadari Riemu tidak mengikuti.

Riemu berdiri tanpa bergerak sedikit pun. Pandangannya tertuju pada sebuah kalung hitam berlonceng emas. Aku sendiri kaget melihat toko itu, "Toko apa ini?" Mereka menjual baju-baju unik dan senjata-senjata seperti karakter-karakter jagoan di kartun. Cosplay Shop adalah tulisan yang tertera di depan toko itu.

"Kamu mau itu?" tanyaku pada Riemu.

Dia mengganguk.

Aku pun masuk ke dalam toko itu. Riemu masih berdiri di luar. Setelah terkejut dengan harganya. Akhirnya aku keluar dari toko itu dengan tetap membeli kalung itu. Kalung itu terlalu sulit untuk aku katakan sebagai kalung yang biasanya aku kenal.

Kalung dalam pikiran selama ini hanyalah kalung yang berupa perhiasaan yang dikenakan di leher dengan sangat longgar dan menggantung sebuah leontin. Namun kalung ini, berbentuk lebih seperti ikat leher berwarna hitam dengan lonceng emas sebagai pengganti leontinnya. Akan tetapi, dengan dilenkapi pita dan kain berembel berwarna putih di sekitarnya membuat kalung ini tetap terlihat manis.

Saat aku memberikan kalung itu pada Riemu, dia malah menutup matanya. Dia juga mengumpulkan rambutnya yang panjang dan menjauhkannya dari lehernya. Tanpa perlu berkata sepatah kata pun aku sudah tahu kalau dia ingin aku mengenakan itu di lehernya. Rasanya sungguh aneh memasangkan ikat leher ini di lehernya, orang-orang yang berlalu-lalang pun mulai memperhatikan kami. Begitu selesai, Riemu berputar terlihat kegirangan dengan kalung barunya.

Ia tersenyum kepadaku seraya berkata, "Bagaimana? Apakah Riemu sudah terlihat seperti milik Daniel sekarang?"

Sejenak detak jantungku berhenti. Aku bahkan tidak mampu menjawab pertanyaannya. Yang ia lakukan sungguh manis sekali. Semua kejadian ini membuatku berpikir. Aku mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi dalam perjalanan menuju negara selanjutnya. Tapi aku yakin, perjalanan ini tidak akan terasa sama lagi.



download
alternative link download