Aku dan Riemu bergegas meninggalkan penginapan kami yang hanya beberapa hari kami gunakan di Bangkok sebagai tempat beristirahat dalam perjalanan kami. Karena beberapa isu dari berita di media masa tidak enak akhir-akhir ini, aku menghindari perjalanan dari Thailand ke Myanmar. Aku pun memutuskan untuk pergi ke Laos dengan kereta api. Sejak kecil aku suka kereta api, apalagi dengan lokomotif berbahan bakar batu bara. Sayangnya yang seperti itu sudah jarang untuk dilihat sekarang ini.
Kami pun bergegas menuju stasiun kereta api. Aku bangun kesiangan hari ini, tidak seperti biasanya. Mungkin karena sakit kepala yang kuderita kemarin. Hanya beberapa detik saja kami duduk, kereta api sudah berjalan. Sebenarnya kami sudah terlambat, tapi kereta api ditunda beberapa menit karena ada gangguan. Riemu mengambil kesempatan ini untuk pergi ke toilet, ia pun meninggalkan ransel besarnya di sampingku. Pemberitahuan itu diumumkan dua kali baik dalam bahasa Thai maupun bahasa Inggris sehingga aku mengerti. Apakah ini kebetulan? Tidak ada kebetulan dalam hidup ini. Itulah yang kupercaya hingga saat ini. Semua bermula ketika aku masih SD. Tiba-tiba saja seorang temanku bertanya padaku.
"Daniel, apa kau percaya pada kebetulan?" tanya Alfonso. Temanku yang satu ini jarang berbicara denganku dan itu membuatku terkejut sejenak karena pertanyaannya begitu filosofis. Aku tidak tahu harus menjawab apa pada awalnya, tapi belum sempat aku menyuarakan isi pikiranku dia langsung menjawab pertanyaannya sendiri. "Aku tidak percaya pada kebetulan. Semua hal yang terjadi pasti ada penyebabnya."
"Hmm," aku hanya bisa bergumam. Saat itu masih jam istirahat dan aku baru saja kembali ke kelas setelah membantu mengantar buku ke kantor guru. Tanpa kata-kata selanjutnya dia langsung pergi begitu saja. Sepertinya dia akan menanyakan hal yang sama kepada teman-teman sekelas. Aku duduk sejenak dan mulai memikirkan kata-katanya.
Tak kusangka pertanyaan Alfonso tetap teringat olehku hingga saat ini. Dari duduk di bangku SD hingga dudukku di stasiun kereta api saat aku termenung menunggu. Termenungku disadarkan teriakan seorang anak laki-laki dari kejauhan. Aku tidak mengerti apa yang dia katakan hingga kakiku menyenggol sebuah bola cukup besar berwarna jingga. Ya, itu adalah sebuah bola basket.
Aku melakukan passing untuk mengembalikan bola kepada anak itu. Tak kusangka aku masih mengingat bagaimana caranya meskipun tidak sempurna. Kedua tanganku yang memegang bola itu kuangkat setinggi dada lalu mendorongnya pelan agar lontarannya tidak terlalu kencang. Si anak itu berhasil menerimanya dengan baik.
"??????" ucapnya dari kejauhan.
Sudah berapa lama aku tidak bermain basket, mungkin sewaktu diajak bermain teman kampus bertanding sebagai pengganti karena aku cukup tinggi meskipun waktu itu kemampuan sudah tidak terlatih lagi. Aku pernah bermain basket secara rutin dan malah bermain basket sudah seperti bagian dari hariku bermain basket. Dan di situ jugalah aku bertemu dengan Aleria seorang anak pindahan yang sangat jago bermain basket.
Aleria sangat tomboy dan sering diolok-olok sebagai laki-laki. Sesekali aku juga ikut dalam kumpulan anak-anak cowok yang mengolok-oloknya. Begitulah kehidupanku di awal waktu aku masih berseragam putih biru. Bergaul dengan suatu kelompok yang kerjanya menanggapi keadaan sekitar. Sering sekali cara kami menanggapi berbagai hal begitu kekanak-kanakan.
"Tidak apalah, kita ini kan masih anak-anak," ujar Darell yang paling sering mengarahkan kelompok kami.
Suatu pagi seluruh kelas dihebohkan dengan kehadiran Aleria dengan rambut super pendeknya. Aku mengatakan super karena rambutnya memang pendek. Persis seperti rambut siswa yang tidak pangkas. Rambutnya tidak lagi terlihat seperti rambut perempuan. Hanya beberapa helai menutupi telinganya. Mungkin jika dia menggunakan seragam laki-laki mungkin seorang guru pun tidak dapat menyangka dia seorang siswi.
Melihat hal itu Darell langsung heboh dan menanyakan Aleria apakah dia sudah berubah menjadi laki-laki dalam waktu satu malam. Aleria yang tidak tahan akan ekspresi teman-teman sekelasnya langsung duduk di bangkunya dan menutup wajahnya dengan meja. Tak lama bel pun berbunyi, suatu suara yang melegakan Aleria karena cemoohan untuknya akan berakhir. Hal yang disayangkan sekali menurutku karena namanya begitu feminim, kenapa ia harus berpenampilan tomboy?
Pertama kali kami berjumpa adalah sewaktu kelas satu di pelajaran olahraga. Memang di hari pertama seluruh murid memperkenalkan diri mereka di depan kelas. Tapi siapa yang memperhatikan seluruh murid yang tampil selain yang mereka kenal atau yang berpenampilan menarik? Hingga akhirnya pelajaran terakhir pun tiba, pelajaran olahraga.
Ini adalah hari pertama kami mengenakan seragam putih biru namun kami juga harus membawa seragam olahraga kami di hari itu juga. Setelah mengganti seragam, kami berbaris di halaman basket. Hari itu cukup terik karena sudah siang. Di hari pertama sekolah tidak ada guru yang begitu bersemangat mengajar, mereka hanya menyelesaikan tugas mereka hingga perkenalan, selebihnya waktu bebas. Begitu juga dengan pelajaran olahraga, kami dibebaskan untuk melakukan permainan olahraga apa saja setelah pemanasan.
Sebagian besar siswa mengambil bola kaki dan membawanya ke lapangan bola sementara aku dan sekitar tiga orang siswa lainnya tinggal lapangan bola basket. Aku langsung mengambil bola basket dan melakukan shooting ke ring basket, meleset. Sebuah awalan yang tidak baik sekali. Seorang siswa lainnya hanya duduk di pinggiran koridor menonton. Sementara dua lainnya mendatangiku dan mengatakan sebaiknya membentuk tim 3 on 3 dengan para siswi.
Aku tidak menolak saran itu. Kami pun membentuk tim dengan tiga orang, begitu juga dengan para siswi. Lapangan itu kami pakai seluruhnya meskipun kami bermain 3 on 3. Kami bermain secara bergantian antar tim. Hingga pada saat itu aku melihat seorang siswi melakukan shooting dari daerah penalti dengan postur yang bagus sekali. Bagaimana tangan kirinya mengatur bola, bagaimana hanya tangan kanannya yang mendorong bola itu, bagaimana lompatan lembutnya, bagaimana bola itu membentuk laju parabola dan melewati ring dengan baik tanpa bergesekan. "Indah sekali," ucapku pelan penuh terkesima.
Tidak terasa setelah beberapa kali pergantian tim, tim kami pun bertemu. Hanya ada satu tim yang terdiri dari tiga orang siswa, sisanya lima tim siswi. Kami bertanding melawan tim si gadis yang mampu melakukan shooting dengan indah itu. Di antara seluruh siswi lainnya hanya dialah yang kulihat memang pernah mempelajari permainan bola basket.
Siswi yang satu ini memang jago. Meskipun badannya lebih kecil dariku, dia begitu lincah. Dia menerobos kami bertiga dan melakukan lay-up. Bola itu melewati ring dengan guliran indahnya. Tidak kusangka kami begitu mudahnya kebobolan angka. Tak lama kami pun membalas skor itu lebih mudah lagi karena dua orang teman satu timnya ternyata malah takut dengan bola. Sebagian besar siswi memang seperti itu dan itu membuat mereka terlihat mentel namun di satu sisi juga feminim, Berbeda sekali dengan si tomboy ini.
"Daniel, apa kau yakin dia perempuan? Jangan-jangan dia laki-laki," celetuk Gundul kepadaku. Aku meyebutnya Gundul karena dia sendiri yang ingin dipanggil seperti itu. Kami baru saja berkenalan saat menunggu giliran main. Selain kepalanya yang gundul, dia juga orang yang ramah.
"Ya, kalau tidak salah aku melihatnya mengenakan rok tadi pagi," jawabku polos.
"Apa kau sudah memastikan dalamnya?"
"Apa maksudmu?" tanyaku sinis karena aku mulai tidak suka dengan arah pembicaraannya. Aku dididik dari kecil untuk menghindari kata-kata kasar dan vulgar sejak kecil. Sehingga aku tidak suka dengan pembicaraan seperti itu. Gundul hanya tertawa dan kembali berlari bermain basket.
Score kami menang telak meskipun gadis itu berhasil memasukkan beberapa angka. Dan itu membuatnya kesal. Ia menjadi lebih gesit dibandingkan sebelumnya. Ketika dia mencoba melakukan shooting, aku berlari kemudian ikut melompat mencoba menghalanginya dan tanpa sengaja dada kami saling bertabrakan. Dia terjatuh sementara aku tidak, jelas saja tubuh aku lebih besar darinya. Dan setelah kejadian itu pula aku tidak dapat menyangkal kalau dia memang seorang perempuan.
Aku mengulurkan tanganku sambil berkata, "Aku Daniel, maaf sudah membuatmu terjatuh."
"Aku Aleria, kamu jago juga," katanya sambil meraih tanganku.
"Kamu lebih jago, bisa lay-up sebagus itu," pujiku. Baru sempat Aleria berdiri, Gundul dan yang lainnya beranjak dari lapangan. "Kalian mau kemana?"
"Ganti baju, sudah capek," jawabnya.
"Cepat sekali, padahal masih ada setengah jam lagi," keluh Aleria kecewa.
"Hmm, bagaimana kalau kita satu lawan satu?" tanyaku.
"Boleh," jawabnya.
Saat-saat terakhir kami di pelajaran olahraga itu pun kami habiskan dengan satu lawan satu. Meski kami terus bermain, kalau dihitung tetap saja skorku berada di atasnya. Walaupun aku tidak bisa melakukan lay-up, namun aku masih bisa shooting dan bahkan aku bisa melakukan 3 point shot. Sesekali Aleria mencoba melakukan 3 point shot, namun gagal. Kekesalannya tidak mampu memiliki skor lebih tinggi dariku membuat dirinya semakin memaksakan dirinya melakukan lay-up dan tidak hanya sekali tubuhnya harus jatuh karena berlari dan menabrakku.
Matahari semakin tinggi dan kami pun semakin lelah, kami pun sepakat untuk mengakhiri permainan itu. Tak kusangka kami berbincang cukup panjang selama perjalanan menuju kelas. Gundul mulai menanyaiku hal-hal aneh seperti, apakah aku suka dia atau semacamnya. Namun, dengan nada sombong aku menjawab, "Dia itu cowok, aku cowok, masa aku homo?" Gundul pun tertawa.
Tahun berikutnya aku berpisah kelas dengan Gundul, namun masih tetap sekelas dengan Aleria. Meskipun dulunya kami akrab dalam bermain basket, kami begitu kalem di kelas yang baru. Karena setengah tahun terakhir aku semakin berjarak dengan Aleria. Bahkan aku juga mengurangi waktuku bernain basket. Itu semua terjadi ketika acara pekan olahraga antar kelas berlangsung.
Aku secara dadakan harus main karena kelas kami kekurangan pemain. Awalnya aku menolak, namun mereka menyoraki sebagai banci karena aku hanya main basket. Memang itu sebuah perbuatan yang anak-anak sekali pada saat itu. Tapi aku juga tidak suka dikatakan sebagai banci. Akhirnya aku mengajukan diri sebagai kiper karena aku tidak pandai menendang bola. Pengajuanku disambut dengan gembira karena selama ini ternyata mereka juga kekurangan kiper.
Pada pertandingan pertama kelas kami berhasil menang dengan baik. Namun pada pertandingan kedua kami kalah tipis dan itu membuat teman-temanku menyemangatiku untuk terus menjadi kiper kelas kami. Sejak saat itu di waktu pelajaran olahraga aku lebih memilih bermain sepak bola dibandingkan bola basket. Meskipun hanya saat itulah aku bisa melihat Aleria yang pendiam di kelas berubah menjadi aktif saat memainkan bola berwarna jingga itu.
Memasuki kelas yang baru aku kembali aktif bermain basket tak kusangka siswa di kelas ini lebih tertarik dengan basket. Hanya saja Aleria yang harus berhenti bermain karena tidak ada satu siswi pun yang mau bermain basket dengannya, lebih tepatnya mereka bahkan tidak begitu suka berlari di lapangan. Akhirnya Aleria lebih aktif di klub basket putri yang terbentuk di sekolah kami.
Hingga hari ini pun tiba, tak satu pun dari kami sekelas menyangka Aleria akan memotong rambutnya seperti itu, bahkan teman sebangkunya sendiri. Aku tidak tahu kenapa aku merasa begitu kecewa melihat rambutnya seperti itu. Mungkin karena aku sudah setahun sekelas dengannya. Masih terdapat harapan dalam diriku untuk melihatnya aktif bermain basket namun juga feminim dalam berpenampilan. Aku termasuk orang yang paling sering meledeki model rambut barunya itu. Mengatakan dirinya laki-laki dan sebagainya.
Tapi semua itu berubah ketika wali kelas kami membuat sebuah sistem baru. Setiap dua bulan sekali, kami akan mengambil nomor urut di depan kelas untuk menentukan posisi bangku kami. Sial sekali, aku malah duduk sebangku dengan Aleria. Seisi kelas menyorakiku. Apakah ini kebetulan? Tidak, aku tidak percaya kebetulan.
Aleria menatapku ketika aku berjalan kemudian duduk di sampingnya. "Kenapa? Senang amat ya aku duduk di sampingmu?" ledekku kepadanya.
"Siapa juga yang mau duduk di sampingmu," ketus Aleria kesal.
Selama duduk di sampingnya, aku tidak menyangka akan banyak hal yang kupelajari darinya. Aku tidak menyukai pelajaran bahasa. Namun dia begitu mahir di situ. Sebaliknya di pelajaran menghitung, di mana aku cukup mahir, dia malah kewalahan. Sewaktu ulangan bulanan berlangsung kami mendapat nilai yang memuaskan di pelajaran yang kami mahir dan mendapat nilai yang mengecewakan di pelaran yang kami tidak mahir.
Untuk menutupi nilai burukku di pelajaran bahasa, aku memutuskan untuk belajar di perpustakaan sewaktu jam istirahat. Tidak kusangka seorang gadis berambut laki-laki malah sudah duduk di sana, menghitung-hitung angka. Pelan-pelan kudekati dia.
"Itu salah, harusnya pakai rumus ini," ujarku seraya menarik pulpennya dan menuliskan beberapa rumus kemudian menyelesaikan soal matematika itu hingga akhir. Aleria hanya terdiam kemudian menunjukkan wajah kesal kepadaku.
"Ngapain, sih? Ganggu aja."
"Yeee, dibantuin malah marah."
"Aku sebenarnya juga enggak mau ngebantu, tapi aku.... Tolong ajarkan aku bahasa!" teriakku sambil menundukkan wajah dan menyorongkan buku pelajaran bahasa kepadanya. Ibu penjaga perpustakaan langsung mengingatkanku agar tidak ribut di dalam perpustakaan. Aku mengangkat kepalaku kemudian melanjutkan, "Sebagai gantinya ntar aku ajarin pelajaran yang kamu enggak bisa."
"Hmm," gumam Aleria, "Baiklah."
Aku langsung tersenyum dan duduk di depannya. Di atas meja yang sama, buku-buku kami berbaring dan terbuka. Siap untuk kami tulis dan baca. Hampir setiap harinya kami melakukan ini. Bahkan hingga kami sudah tidak duduk sebangku lagi, kami masih tetap berjumpa di perpustakaan. Nilai kami pun membaik meskipun ranking kami tidak begitu tinggi. Kami tetap bertemu di perpustakaan hingga akhir kelas 2 pun tiba. Hari terakhir sebelum ujian kenaikan kelas, Aleria mengatakan hal yang sulit aku percaya.
"Aku akan pindah ke Rusia," katanya.
"APA?" aku tersentak kaget. Kursiku bahkan sampai terjatuh ketika aku berdiri karena saking terkejutnya. Ibu penjaga perpustakaan memarahiku karena sikapku yang merusak ketenangan di dalam perpustakaan. Aku menarik kursi itu dan kemudian duduk, mencoba menenangkan diri dan kembali bertanya, "Kenapa?"
"Ayahku bekerja di kedutaan dan mulai bulan depan akan berkerja di Rusia," jawab Aleria yang rambutnya kini sudah cukup panjang untuk menutupi telinganya.
"Kapan kamu akan kembali?"
"Tidak tahu, mungkin malah kami akan tinggal selamanya di sana. Kami tidak memiliki keluarga di Indonesia, namun ayahku memiliki banyak teman di Rusia. Sepertinya kami akan menetap di sana," jawab Aleria dengan tenang.
Bagaimana dia bisa setenang itu mengatakan ini semua? Apa dia tidak memikirkan ini sama sekali? Apa dia tidak tahu aku masih ingin lebih lama dengannya? Perasaan apa ini? Mengapa aku tidak ingin dia pergi? Sungguh aku tidak tenang belajar saat itu. Aku memutuskan untuk pulang lebih dulu.
Mulai dari Senin berikutnya, ujian kenaikan kelas berlangsung. Meskipun aku berhasil menjawab soal-soal di lembaran ujian itu, tetap saja aku tidak bisa mengusir rasa gusar di hatiku. Aku bahkan tidak bisa menjawab perasaan apa yang sedang kurasakan sekarang. Aku tidak tahu harus bercerita kepada siapa. Mereka pasti akan mengatakan kalau aku suka pada gadis berpenampilan laki-laki itu. Tapi itu juga tidak salah. Ya, mungkin aku memang suka dengannya.
Ujian berakhir dan kabar tentang pindahnya Aleria sudah tersebar ke seluruh kelas. Dia tidak banyak memiliki teman dekat di kelas. Tapi mereka semua membahas hal itu. Aku tidak pernah lagi berbicara dengan Aleria setelah perjumpaan terakhir kami di perpustakaan. Aku tidak tahu harus mengatakan apa-apa padanya dan akhirnya aku malah menulis sebuah surat.
Surat itu kutulis dengan hati-hati karena tulisanku sangat jelek. Aku takut dia akan kesulitan membacanya. Aku juga memiliki tabungan karena aku jarang jajan. Aku membeli sebuah gaun yang bernuansa feminim untuknya. Gaun itu kubungkus dengan kertas kado dan tak lupa surat itu kuselipkan di dalamnya. Surat itu berisi tentang bagaimana aku sangat terkesima dengan permainan bola basket di saat kami pertama bertemu, juga tentang bagaimana beruntungnnya aku pernah duduk sebangku dengannya, tentang bagaimana bahagianya aku saat kami belajar bersama, serta terakhir tentang pengetahuanku mengenai Rusia. Aku mengatakan di dalam surat itu Rusia memiliki pengembangan teknologi yang tinggi, aku menyukai teknologi, mungkin aku akan belajar di sana sewaktu kuliah nanti, dan pada saat itu tiba aku ingin terus bersama dengannya. Rasanya dulu mudah sekali mengatakan itu. Semua itu kuserahkan padanya di hari pembagian rapor karena setelah itu aku tidak tahu kapan akan bertemu lagi dengannya.
Kini usiaku sudah 35 tahun dan sekali pun aku tidak pernah menginjakkan kaki di Rusia. Tak kusangka sebuah bola basket yang bergulir ke kakiku dapat mengingatkan aku pada masa lalu. Sebuah pengunguman dengan bahasa Thailand di stasiun itu membuatku tersadar lagi dari lamunanku yang jauh lebih lama dari sebelumnya. Pengunguman itu diikuti bahasa Inggris yang mengatakan kalau kereta kami akan segera tiba. Aku melihat ke sekelilingku, namun Riemu belum juga kembali dari toilet. Ah, sudahlah, biarkan saja.
Aku melangkah menuju kereta api yang baru saja tiba dan berhenti. Pintunya terbuka dan bergegas ratusan orang keluar dan masuk. Aku masih belum melihat Riemu. Tasnya kutinggalkan di bangku tempat sebelumnya aku duduk. Semakin dekat aku dengan pintu kereta, semakin berat langkahku. Apakah dia kutinggalkan saja? Sejak awal kan aku memang tidak ada urusan dengannya, aku tetap harus segara pergi dan melanjutkan perjalananku. Tapi aku juga sudah berjanji akan mengantarnya ke negaranya. Bagaimana ini? Apakah aku akan melanggar janjiku lagi? Bahkan aku tidak bisa menepati janjiku sewaktu SMP kepada Aleria untuk ke Rusia, bagaimana mungkin aku bisa menepati janjiku yang kali?
"Bukankah justru karena kamu tidak bisa menepati janjimu yang dulu, makanya kamu harus menepati janjimu kali ini?"suara akrab berbisik dari belakang telingaku.
"Emuria?" tanyaku sambil membalikkan badan. Tak ada siapapun di belakangku. Seluruh penumpang sudah masuk ke gerbong, sementara yang baru saja keluar sudah bergerak keluar dari stasiun. Sekilas tampil layaknya sebuah film yang tayang tepat di hadapanku. Film itu menampilkan sebuah senyuman gadis kecil seraya berkata, "Bagaimana? Apakah Riemu sudah terlihat seperti milik Daniel sekarang?"
Suara berbisik itu terdengar lagi, "Apakah kamu harus kehilangannya terlebih dulu sebelum menyadari betapa berarti dirinya untukmu?"
Tidak ada yang perlu dipertimbangkan lagi, aku langsung berlari menghampiri ransel besar milik Riemu. Membawanya menuju toilet wanita, menanyakan pada mereka apakah mereka melihat seorang gadis kecil di sana. Beberapa dari mereka langsung menghindariku karena mereka tidak mengerti bahasa Inggris, beberapa yang mengerti menjawab mereka tidak melihatnya.
"Riemu!" teriakku berharap akan ada terjadi keajaiban. Hanya orang-orang sekitar kini melihatku dengan wajah keheranan. "Riemu!" teriakku lagi sambil terus berjalan di sekitar stasiun. Kepalaku sibuk melihat ke kanan-kiri kalau-kalau aku dapat melihatnya dari kejauhan. Setiap kali aku berjumpa dengan petugas keamanan, aku bertanya pada mereka. Namun hasilnya sama saja seperti bertanya dengan orang-orang di sekitar toilet sebelumnya.
Aku bukanlah pencari yang baik dan kehilangannya membuatku tidak dapat berpikir tenang. Aku bahkan tidak percaya kini aku mencarinya hingga pintu masuk stasiun. Tring! Tring! Bunyi gemerincing terdengar dari bawah. Ternyata aku sudah menendang sebuah kalung yang memiliki lonceng. Tunggu dulu, ini milik Riemu! Aku terkejut dan panik. Kenapa bisa sampai lepas? Tak jauh dari kalung itu, aku melihat sebuah benda cukup panjang dan terbuat dari kulit, berukir aksara yang awalnya aku duga aksara Thailand, namun setelah aku membanding tulisannya dengan nama stasiun yang tertera di pintu masuk, jauh berbeda.
Dengan membawa kedua benda itu, aku meminta tolong kepada pusat keamanan untuk menampilkan CCTV di pintu masuk stasiun sejak setengah jam yang lalu. Untunglah salah satu dari mereka mampu berbahasa Inggris sehingga kami tidak terlalu sulit berkomunikasi. Meskipun aku sudah bersikeras menjelaskan, tetap saja tidak semudah yang kubayangkan untuk dapat melihat CCTV tersebut. Sambil terus menampilkan foto Riemu di tempat wisata sebelumnya, aku bersikeras mengatakan, "My niece is kidnapped, please help me."
Sekitar satu jam aku disuruh menunggu di pusat keamanan. Selagi menunggu, aku mengambil smartphone-ku dan memotret benda dari kulit yang aku temukan. Sebenarnya benda itulah yang membuatku semakin cemas karena dari bentuknya aku menduga benda itu adalah sarung pisau. Foto sarung pisau itu aku unggah ke internet untuk kucari infonya, namun hasilnya tidak memuaskan. Aku kemudian mengirim email ke teman kuliahku bernama Leen, berharap dia dapat mengetahui benda apa itu.
Leen adalah temanku yang paling bergaul dengan seluruh orang dari berbagai negara. Dia adalah maniak internet sejak sepuluh tahun yang lalu. Aku tidak mengetahui dia berkerja di mana sekarang, namun terkadang kami masih berkomunikasi melalui email.
Seorang staff keamanan memanggilku dan menampilkan sebuah rekaman. Tiga orang pria menggiring seorang gadis masuk ke dalam mobil di parkiran stasiun. Tapi di rekaman itu Riemu sama sekali tidak melawan, mereka berempat masuk ke dalam mobil, kemudian berangkat meninggalkan stasiun. Di saat yang sama, email dari Leen pun kuterima.
"Kau sudah terlibat dalam hal besar, kawan. Pemilik sarung pisau itu adalah mafia dari Rusia."
Mengapa mafia lagi? Siapa sebenarnya Riemu? Mengapa dia terus dikejar oleh para mafia? Sebelumnya Singapura dan kali ini Rusia? Tunggu dulu, Rusia? Apakah ini juga bukan kebetulan?
alternative link download